A. Sistem Penyimpanan Arsip Tradisional
Dalam era digital yang serba cepat ini, memahami sistem penyimpanan arsip tradisional menjadi sangat krusial, bukan hanya sebagai pengetahuan historis, melainkan sebagai fondasi dari prinsip-prinsip kearsipan yang tetap relevan. Sistem tradisional merujuk pada metode pengaturan, penyimpanan, dan penemuan kembali arsip fisik (hard copy) tanpa bergantung pada teknologi komputer. Sistem ini dibangun di atas prinsip-prinsip keteraturan, kemudahan akses, dan keamanan fisik arsip. Meskipun memiliki keterbatasan dalam hal kecepatan dan ruang, sistem ini merupakan akar dari semua klasifikasi kearsipan modern dan masih digunakan di banyak organisasi, terutama untuk menyimpan arsip vital yang memerlukan keaslian fisik.
Sistem arsip fisik tidak boleh dianggap sebagai warisan atau usang, melainkan diakui sebagai aset strategis yang membutuhkan manajemen dan keahlian khusus. Pendekatan profesional dan berwawasan risiko dalam kurasinya sangat penting, memastikan bahwa arsip asli ini terpelihara, mudah diakses, dan nilai pembuktiannya tetap terjaga selama dibutuhkan (Yusof dan Chell, 2020).
B. Sistem Kearsipan Elektronik
Perkembangan teknologi informasi telah membawa transformasi fundamental dalam praktik kearsipan melalui hadirnya sistem kearsipan elektronik. Sistem ini didefinisikan sebagai suatu metode pengelolaan arsip yang menggunakan perangkat komputer dan teknologi digital dalam seluruh siklus hidup arsip, mulai dari penciptaan, distribusi, penyimpanan, hingga pemusnahan. Berbeda dengan sistem tradisional yang mengandalkan fisik dokumen, sistem elektronik bekerja dengan representasi digital dalam bentuk bit dan byte. Transisi menuju sistem ini bukan sekadar mengganti media fisik menjadi digital, melainkan merupakan perubahan paradigma dalam mengelola informasi yang menuntut standar, kebijakan, dan infrastruktur yang kompleks serta komprehensif.
Sistem Manajemen Arsip Elektronik (ERMS) tidak boleh dipandang sebagai tujuan akhir dari proyek transformasi digital, melainkan sebagai alat pendukung yang krusial dalam kerangka tata kelola informasi yang lebih luas. Nilai utamanya terletak pada kemampuannya untuk mengoperasionalkan dan menegakkan kebijakan tata kelola—seperti jadwal retensi, kontrol akses, dan perlindungan privasi—di seluruh lanskap informasi organisasi (Smallwood, 2023).

C. Metode Pengindeksan dan Pengabjadan Arsip
Pengindeksan dan pengabjadan merupakan dua kegiatan kunci dalam sistem kearsipan yang saling berkaitan erat dan menjadi tulang punggung efisiensi penemuan kembali arsip. Pengindeksan dapat didefinisikan sebagai proses penganalisisan, penyeleksian, dan pencatatan informasi esensial dari suatu arsip (seperti nama, nomor, tanggal, atau subjek) ke dalam suatu entri yang sistematis yang akan digunakan sebagai penunjuk lokasi. Sementara itu, pengabjadan adalah penerapan aturan baku dalam menyusun entri-entri tersebut secara berurutan berdasarkan abjad. Kedua metode ini bekerja sinergis: pengindeksan menciptakan “jalan tol” untuk menemukan arsip, sedangkan pengabjadan mengatur “jalan tol” tersebut agar mudah dilalui. Tanpa kedua metode ini, sistem penyimpanan arsip, baik tradisional maupun elektronik, akan menjadi tidak lebih dari sebuah gudang yang kacau.
Kemahiran dalam teknik-teknik dasar pengelolaan arsip—terutama sistem pengindeksan dan pengarsipan alfabetis—tetap menjadi kompetensi penting bagi para profesional informasi. Di era sistem digital yang semakin kompleks, keterampilan dasar ini menyediakan kerangka kerja konseptual yang diperlukan untuk memahami bagaimana informasi diorganisasikan, diambil, dan dikelola, baik di lingkungan fisik maupun elektronik (Smyth, 2023).
D. Klasifikasi Arsip Berdasarkan Kegiatan
Klasifikasi arsip berdasarkan kegiatan merupakan pendekatan sistematis yang menyelaraskan pengelolaan arsip dengan fungsi dan proses bisnis organisasi. Berbeda dengan metode klasifikasi sederhana seperti abjad atau numerik yang hanya fokus pada kemudahan akses, klasifikasi berbasis kegiatan menekankan pada konteks penciptaan dan penggunaan arsip dalam mendukung aktivitas organisasi. Metode ini didasarkan pada prinsip bahwa arsip tidak hanya sekadar dokumen yang disimpan, tetapi merupakan bukti dari transaksi, keputusan, dan tindakan yang dilakukan organisasi. Dengan memahami konteks kegiatan yang menghasilkan arsip, pengelolaan arsip menjadi lebih terintegrasi dengan operasional organisasi dan memenuhi nilai guna primer arsip sebagai alat bukti akuntabilitas.
Dalam lingkungan digital kontemporer, klasifikasi fungsional telah memperoleh makna baru melalui integrasinya dengan sistem manajemen arsip elektronik dan prinsip-prinsip kontinum arsip. Pendekatan ini menyediakan kerangka kerja konseptual penting untuk mengelola arsip di seluruh siklus hidupnya, memungkinkan pelestarian dan akses yang lancar dalam ekosistem digital yang kompleks (Oliver dan Svärd, 2022).

E. Penerapan Sistem Nomor dalam Kearsipan
Sistem nomor merupakan metode penyimpanan arsip yang menggunakan urutan numerik sebagai dasar pengaturan dan penemuan kembali. Berbeda dengan sistem abjad yang bergantung pada variasi linguistik, sistem nomor menawarkan kerangka yang pasti, objektif, dan terhindar dari ambigusi pengejaan atau perubahan nama. Sistem ini sangat efektif untuk mengelola arsip dalam volume besar, terutama ketika identitas utama arsip sudah diketahui dalam bentuk nomor tertentu, seperti nomor kontrak, nomor pelanggan, nomor proyek, atau nomor registrasi. Prinsip dasarnya adalah setiap unit arsip atau berkas diberikan nomor unik yang menjadi identitas sekaligus penunjuk lokasi fisiknya dalam lemari arsip.
Logika fundamental klasifikasi numerik tetap sangat relevan dalam sistem manajemen arsip elektronik kontemporer, meskipun diimplementasikan melalui cara yang lebih canggih. Penomoran arsip otomatis, pengindeksan berbasis basis data, dan pengenal digital unik merupakan evolusi dari sistem numerik tradisional, yang mempertahankan prinsip-prinsip inti organisasinya sekaligus memanfaatkan kapabilitas teknologi untuk meningkatkan fungsionalitas (Thompson dan Li, 2023).