Pengertian dan Sejarah Kearsipan
Kearsipan adalah suatu disiplin ilmu dan praktik yang berkaitan dengan pengelolaan arsip atau dokumen yang memiliki nilai guna dan fungsi bagi organisasi maupun individu. Arsip sendiri merupakan rekaman kegiatan atau peristiwa yang dibuat atau diterima oleh seseorang atau lembaga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, yang kemudian disimpan sebagai bukti atau sumber informasi. Kearsipan berfungsi untuk mengatur, menyimpan, membaca, dan memelihara arsip agar dapat diakses dengan mudah ketika dibutuhkan, serta menjamin keberlangsungan informasi secara sistematis dan terorganisir.
Sejak zaman kuno, peradaban manusia telah menciptakan dan menyimpan rekaman untuk tujuan administratif, hukum, dan budaya. Media untuk penyimpanan arsip ini berevolusi dari tulang oracle dan tablet tanah liat di Mesopotamia, papirus di Mesir, hingga bambu dan sutra di Tiongkok kuno. Praktek-praktek awal ini meletakkan dasar bagi prinsip-prinsip kearsipan modern, meskipun media dan teknologinya sangat berbeda (Chen dan Wang, 2022).

Bukti arkeologis menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mencatat transaksi dan peristiwa penting memunculkan bentuk paling awal dari manajemen arsip. Bangsa Sumeria menggunakan tablet tanah liat, sementara peradaban lain memanfaatkan bahan organik seperti papirus atau kulit hewan. Media-media ini, meskipun rapuh, berfungsi sebagai bukti resmi dan inti dari memori administratif peradaban awal, yang tanpanya struktur pemerintahan dan ekonomi yang kompleks tidak akan mungkin terjadi (Papadopoulos, A., 2023).
Transformasi dari tradisi lisan ke catatan tertulis merupakan lompatan monumental dalam sejarah manusia. Inovasi ini memerlukan media fisik—batu, lempung liat, loh kayu berlapis lilin, atau gulungan papirus—untuk berfungsi sebagai wawasan arsip pertama. Catatan-catatan ini, seringkali disimpan di kuil atau istana, adalah prototipe dari repositori arsip, yang dirancang untuk memastikan keabadian dan otoritas dokumen resmi (Favier, L. dan M. Fernández, 2021).
Administrasi Kerajaan Mesir Baru sangat bergantung pada catatan tertulis untuk mengelola ekonomi, tenaga kerja, dan sumber daya yang kompleks. ‘Rumah Kehidupan’ (per-ankh) berfungsi tidak hanya sebagai skriptorium dan pusat pembelajaran tetapi juga sebagai repositori arsip vital di dalam kuil-kuil utama. Di sini, juru tulis menyimpan dan mengelola gulungan papirus yang berisi catatan sensus, inventaris kuil, transaksi, dan dekrit kerajaan, menunjukkan sistem informasi yang sangat terorganisir yang mendukung negara firaun (Garcia, 2022).
Di dunia Yunani kuno, khususnya di Athena, arsip-arsip publik menjadi landasan bagi tata kelola demokratis dan proses hukum. Meskipun penyimpanannya sering tersebar di berbagai kuil dan bangunan resmi, dokumen-dokumen seperti catatan undang-undang, daftar properti, dan transaksi keuangan negara dianggap sebagai bukti otentik yang tak terbantahkan. Akses terhadap arsip ini memungkinkan warga negara untuk memverifikasi klaim dan memastikan akuntabilitas pejabat publik, menjadikan arsip sebagai alat penyeimbang kekuasaan yang penting (Faraguna dalam Verboven dan Adams, 2020).

Kekaisaran Romawi melembagakan praktik kearsipan dengan tingkat sistematisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pembentukan Tabularium di Forum Romanum dan kemudian arsip-arsip kekaisaran yang tersebar menandai pengakuan resmi terhadap nilai arsip sebagai memori administratif dan hukum negara. Dokumen-dokumen seperti makalah kepemilikan tanah (misalnya, pada tablet lilin dari Vindolanda), keputusan senat, dan catatan pajak disimpan dengan cermat untuk memfasilitasi pemerintahan, perpajakan, dan penegakan hukum di seluruh kekaisaran yang luas (Cooley, 2023).
Sistem kearsipan modern di Indonesia diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda melalui pembentukan Landarchief pada tahun 1892. Lembaga ini berfungsi sebagai repositori sentral untuk menyimpan arsip-arsip administrasi pemerintah Hindia Belanda yang dianggap memiliki nilai permanen. Warisan struktural dan konseptual dari Landarchief ini menjadi fondasi awal bagi pembentukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) setelah kemerdekaan, meskipun dengan mandat dan orientasi kebangsaan yang baru (Wibisono dan Setiawan, 2021).
Pasca kemerdekaan, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tidak hanya mewarisi fisik arsip dari era kolonial tetapi juga menerima mandat yang jauh lebih luas. Transformasinya dari lembaga penyimpan pasif menjadi lembaga dinamis yang mengoordinasikan sistem kearsipan nasional merupakan pencapaian signifikan. Peran ANRI meluas hingga mencakup penyusunan kebijakan, standarisasi prosedur, pengawasan kearsipan di seluruh instansi pemerintah, dan yang terpenting, upaya menjadikan arsip sebagai alat untuk membangun identitas dan memori kolektif bangsa Indonesia (Prasetyo, 2023).
Dalam beberapa dekade terakhir, ANRI telah secara aktif menyusun dan menerapkan standar manajemen kearsipan yang komprehensif, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan berbagai peraturan turunannya. Standar-standar ini dirancang untuk mengatur siklus hidup arsip secara keseluruhan, dari penciptaan, distribusi, penggunaan, penyimpanan, hingga preservasi, baik untuk arsip statis dinamis maupun arsip statis. Tantangan utama saat ini adalah mengakselerasi adopsi standar-standar ini di seluruh tingkat pemerintahan dan merangkul transformasi digital untuk memastikan preservasi dan aksesibilitas arsip di era modern (Suryani dan Khrisnawan, 2020).
Pengertian kearsipan sebagai ilmu dan praktik pengelolaan arsip memiliki akar sejarah panjang yang berawal dari usaha manusia merekam aktivitas pentingnya. Seiring dengan perkembangan zaman, kearsipan menjadi komponen vital manajemen organisasi untuk menjamin kelangsungan informasi dan bukti dokumenter yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemahaman sejarah kearsipan menjadi landasan penting dalam mengembangkan manajemen kearsipan yang efektif dan efisien di era modern.