A. Pendahuluan: Dua Dunia yang Berbeda
Dalam praktiknya, sebuah perusahaan seolah-olah harus menjalankan “dua dunia” akuntansi yang memiliki aturan main berbeda. Mengapa hal ini terjadi?
1. Akuntansi Komersial (Akuntansi Keuangan)
Dunia ini diatur oleh Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Tujuannya adalah untuk menyajikan laporan keuangan yang wajar dan dapat dipercaya bagi para pemangku kepentingan seperti investor, kreditur, dan manajemen. Prinsip utamanya adalah wajar (fair presentation) dan akrual (accrual basis).
2. Akuntansi Fiskal
Dunia ini diatur sepenuhnya oleh Undang-Undang Perpajakan (terutama UU KUP, PPh, dan PPN). Tujuannya adalah untuk menghitung besarnya pajak terutang yang harus dibayar perusahaan kepada negara. Prinsip utamanya adalah kepatuhan terhadap hukum (legal compliance) dan seringkali mengadopsi campuran antara dasar akrual dan kas.
Konflik antara kedua dunia inilah yang melahirkan bidang ilmu khusus yaitu Akuntansi Perpajakan, yang bertugas untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut melalui proses yang disebut Rekonsiliasi Fiskal.
B. Perbedaan Prinsip Dasar yang Mendalam
Berikut adalah tabel perbedaan mendasar yang harus dipahami:
C. Konsep Penghasilan: Apa yang Dianggap “Penghasilan”?
1. Dalam Akuntansi Komersial (SAK)
Penghasilan (income) didefinisikan sebagai seluruh kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi yang berasal dari penambahan aktiva atau penurunan kewajiban, yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Konsepnya sangat luas, mencakup:
– Pendapatan Usaha (Revenue): Dari aktivitas utama perusahaan (penjualan jasa/jasa).
– Pendapatan di Luar Usaha (Other Income): Seperti pendapatan bunga, dividen, keuntungan selisih kurs, dan laba penjualan aktiva tetap.
2. Dalam Akuntansi Fiskal (UU PPh)
Penghasilan didefinisikan secara lebih spesifik dan legalistik. Menurut UU PPh Pasal 4, “Penghasilan” adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Analisis Perbedaan Kritis
– Kelengkapan
Pada dasarnya, UU PPh memiliki cakupan yang sangat luas dan mencakup hampir semua jenis penghasilan yang diakui SAK. Namun, ada pengecualian tertentu dalam UU PPh yang bukan merupakan objek pajak (misalnya: harta hibah, warisan, dan setoran modal). Ini berarti, suatu item bisa diakui sebagai penghasilan di SAK, tetapi bukan objek pajak di fiskal.
– Timing Pengakuan
Perbedaan waktu pengakuan bisa terjadi. Misalnya, dalam kontrak konstruksi, SAK membolehkan penggunaan metode persentase penyelesaian, sementara UU PPh memiliki aturan tersendiri yang mungkin berbeda.
D. Konsep Beban dan Biaya: Apa yang Boleh “Dikurangkan”?
Inilah area dimana perbedaan paling banyak dan paling signifikan terjadi. Perbedaan inilah yang nantinya akan direkonsiliasi dalam Koreksi Fiskal.
1. Dalam Akuntansi Komersial (SAK)
Beban (expenses) diakui berdasarkan prinsip penandingan (matching principle). Artinya, semua beban yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan dalam suatu periode harus diakui dan dicocokkan dengan penghasilan periode tersebut, terlepas dari apakah sudah dibayar tunai atau belum. Prinsipnya adalah “Kewajaran”.
2. Dalam Akuntansi Fiskal (UU PPh Pasal 6 dan 9)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dibatasi oleh ketentuan yang sangat ketat. Prinsipnya adalah “Kepatuhan terhadap Daftar Positif dan Negatif”.
– Biaya yang Boleh Dikurangkan (Pasal 6)
Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan untuk memperoleh penghasilan, seperti biaya berhubungan dengan pekerjaan, penyusutan, iuran pajak (kecuali PPh Badan), bunga, kerugian, dll. Tetapi, semuanya harus memenuhi syarat-syarat khusus yang ditetapkan UU.
– Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan (Pasal 9)
Inilah sumber koreksi fiskal positif (penambahan penghasilan). Contohnya:
+ Pembagian laba (seperti dividen).
+ Biaya yang bersifat cadangan (seperti cadangan piutang tak tertagih).
+ Sanksi administrasi perpajakan (denda, bunga).
+ Biaya perolehan hak yang sifatnya final (seperti biaya pembuatan merk).
+ Gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada pemilik/pengurus yang tidak masuk akal.
+ Biaya sosial dan sumbangan (kecuali sumbangan yang secara khusus diatur seperti untuk bencana alam).
Ilustrasi Contoh Praktis
E. Kesimpulan: Dari Laba Komersial ke Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Pemahaman atas perbedaan-perbedaan di atas akan membawa kita pada inti dari Akuntansi Perpajakan, yaitu proses Rekonsiliasi Fiskal. Proses ini dimulai dari Laba Bersih menurut Akuntansi Komersial, lalu dilakukan koreksi:
Laba/ Rugi Bersih (Komersial) sebelum Pajak
– DITAMBAH
Koreksi Fiskal Positif (contoh: biaya yang tidak boleh dibebankan menurut fiskal, seperti sumbangan, sanksi denda, cadangan).
– DIKURANGI
Koreksi Fiskal Negatif (contoh: penghasilan yang bukan objek pajak, atau biaya komersial yang lebih kecil daripada biaya fiskal).
= Penghasilan Kena Pajak (PKP) / Taxable Income
PKP inilah yang kemudian menjadi dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan Badan Terutang.
Sebagai calon praktisi akuntansi, mahasiswa D3 Akuntansi harus paham bahwa kedua dunia ini harus dikuasai. Kemampuan untuk “menerjemahkan” laporan keuangan komersial ke dalam kerangka fiskal untuk memenuhi kewajiban perpajakan adalah kompetensi inti yang sangat dibutuhkan di dunia kerja, baik sebagai staff accounting, tax staff, maupun konsultan pajak junior.